AYAH & BUNDA; Tak selamanya anak memahami apa yg diinginkan orangtua, tak selamanya anak anak mengerti apa yg akan dilakukan oleh orangtua pd anak2nya. Tetapi kadang kala emosi & ego anak yg menyebabkan orangtua tak diberi kesempatan u mengatakan bahwa ia ingin menjaga kebahagiaan anak-nya & menyebabkan orangtua tak sempat menunjukkan kasih tulusnya,padahal kasih orangtua tak sepanjang gala,ia seluas samudra dan sepanjang jalan.
MAAFKAN ANANDA YA ...AYAHANDA
Di sebuah keluarga, tinggallah seorang ayah dengan anak laki-laki satu-satunya yang sebentar lagi lulus dari perguruan tingg. Ibundanya hanya seorang ibu rumah tangga saja . Mereka berdua memiliki kesamaan minat yakni mengeluti dunia pendidikan, dulu ayahandanya adalah seorang guru di desa terpencil desa Gedangan Kec Maduran Kab. Lamongan.
Suatu hari saat sang anak mengikuti sebuah seminar di Universitas Muhammadiyah Malang, tempat ia menempuh S1-nya, ia melihat-lihat pameran buku, ia melihat-lihat pameran pendidikan yang memberikan banyak pengalaman baru baginya. Ia berfikir bagaimana kira-kira buku-buku pameran ini suatu saat akan dimilikinya, betapa senangnya hati...ia berfikir dengan buku yang banyak ia akan bisa belajar lebih banyak dan bisa menjadi guru melebihi ayahandanya dulu.
Saat anak pulang ke Gedangan, ia menceritakan keinginannya itu pada ayahanda-nya...ayahnya hanya berujar “nuh...nak buku ayah kan banyak di almari itu....itu buku Fiqih, Buku Buluhul Maram, Riyadul Sholihin..., kan bisa dimanfaatkan....”sang ayah sambil tersenyum berujar itu pada anaknya. Ya karena ayahanda-nya hanya bercanda dan menyadari gaji PNS di PLKB (Pegawai Lapangan Keluarga Berencana) tidak cukup untuk membelikan buku yang diinginkan anaknya tadi.
Menjelang wisuda, diam-diam sang anak beharap dalam hati. “mudah-mudahan ayah membelikan buku-buku sebagai hadiah kelulusanku”. Setelah lulus, aku pasti akan bekerja dan menjadi dosen, alangkah senangnya aku bisa membaca buku-buku itu sebagai bahan aku nanti ngajar,”harapnya dengan senang. Membayangkan ia punya perpustakaan saat nanti ia menjadi dosen.
Saat hari wisuda tiba, ayahnya memberi hadiah bingkisan yang segera dibukanya dengan harap-harap cemas. Ternyata isinya adalah sebuah Al Qur’an di bingkai kotak kayu berukir indah. Walaupun mengucap terima kasih tetapi hatinya sungguh kecewa. "Bukannya aku tidak menghargai hadiah dari ayah, tetapi alangkah senangnya bila isi kotak itu adalah uang untuk membeli buku-buku," ucapnya dalam hati sambil menaruh Al Qur’an kembali ke kotaknya.
Waktu berlalu dengan cepat, si anak diterima menjadi dosen di Universitas Mataram NTB. Si ayah pun sendiri dalam kesepian. Karena usia tua dan sakit-sakitan, tak lama si ayah meninggal dunia tanpa sempat meninggalkan pesan kepada putranya. Setelah masa berkabung selesai, saat sedang membereskan barang-barang, mata si anak terpaku melihat kotak kayu hadiah wisudanya yang tergeletak berdebu di pojok lemari. Dia teringat itu hadiah ayahnya saat wisuda yang diabaikannya. Perlahan dibersihkannya kotak penutup, dan untuk pertama kalinya Al Qur’an hadiah pemberian si ayah dibacanya.
Saat membaca, tiba-tiba sehelai kertas terjatuh dari selipan kitab suci. Alangkah terkejutnya dia. Ternyata isinya selembar surat bahwa ayah sedang membelikan Sapi yang dititip ke paman untuk dirawat dan hasilnya nanti untuk kami semua, yang itu harganya melebihi harga buku yang dulu sempat diminta pada ayahnya. Harga sapi itu adalah 10 juta rupiah, sedangkan dulu harga buku itu hanya 500 ribi rupaih.
Sambil berlinang airmata, dia pun tersadar. Terjawab sudah, kenapa ayahanda menabung dari gaji pensiunnya, karena ia berharap menebus keinginan anaknya yang tak sempat dikabulkannya. 20 tahun ayah menabung untuk membeli sapi dan harapannya sapi itu dijual untuk keperluar kamiyang jauh lebih bergarha dari padamembeli buku-buku, karena saat ini membeli buku sudah menjadi kebiasaan sang anak, dan ayahanda berharap bahwa sapi itu bisa untuk membantu ekonomi kakak-kakaknya. Selepas hal itu Segera ia pun bersimpuh dengan memanjatkan doa, "Ayah maafkan anakmu yang tidak menghargai hadiahmu …. Walau terlambat, hadiah Ayah telah kuterima…… Terima kasih Ayah.. Semoga Ayah berbahagia di sisiNYA, amin".
Hikmah :
Teman
Tidak jarang para orang tua memberi perhatian dengan alasan dan caranya masing-masing. Tetapi dalam kenyataan hidup, karena kemudaan usia anak dan emosi yang belum dewasa, seringkali terjadi kesalahfahaman pada anak dalam menerjemahkan perhatian orang tua.
Jangan cepat menghakimi sekiranya harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Sebaliknya tidak menjadikan kita manja hingga selalu menuntut permintaan.
Mari belajar menjadi anak yang pandai menghargai setiap perhatian orang tua.
Semoga bermanfaat, cerita terinpsirasi dari cerita Andre Wongso diceritakan kembali oleh Muazar Habibi sesuai dengan apa yang dialaminya.
MAAFKAN ANANDA YA ...AYAHANDA
Di sebuah keluarga, tinggallah seorang ayah dengan anak laki-laki satu-satunya yang sebentar lagi lulus dari perguruan tingg. Ibundanya hanya seorang ibu rumah tangga saja . Mereka berdua memiliki kesamaan minat yakni mengeluti dunia pendidikan, dulu ayahandanya adalah seorang guru di desa terpencil desa Gedangan Kec Maduran Kab. Lamongan.
Suatu hari saat sang anak mengikuti sebuah seminar di Universitas Muhammadiyah Malang, tempat ia menempuh S1-nya, ia melihat-lihat pameran buku, ia melihat-lihat pameran pendidikan yang memberikan banyak pengalaman baru baginya. Ia berfikir bagaimana kira-kira buku-buku pameran ini suatu saat akan dimilikinya, betapa senangnya hati...ia berfikir dengan buku yang banyak ia akan bisa belajar lebih banyak dan bisa menjadi guru melebihi ayahandanya dulu.
Saat anak pulang ke Gedangan, ia menceritakan keinginannya itu pada ayahanda-nya...ayahnya hanya berujar “nuh...nak buku ayah kan banyak di almari itu....itu buku Fiqih, Buku Buluhul Maram, Riyadul Sholihin..., kan bisa dimanfaatkan....”sang ayah sambil tersenyum berujar itu pada anaknya. Ya karena ayahanda-nya hanya bercanda dan menyadari gaji PNS di PLKB (Pegawai Lapangan Keluarga Berencana) tidak cukup untuk membelikan buku yang diinginkan anaknya tadi.
Menjelang wisuda, diam-diam sang anak beharap dalam hati. “mudah-mudahan ayah membelikan buku-buku sebagai hadiah kelulusanku”. Setelah lulus, aku pasti akan bekerja dan menjadi dosen, alangkah senangnya aku bisa membaca buku-buku itu sebagai bahan aku nanti ngajar,”harapnya dengan senang. Membayangkan ia punya perpustakaan saat nanti ia menjadi dosen.
Saat hari wisuda tiba, ayahnya memberi hadiah bingkisan yang segera dibukanya dengan harap-harap cemas. Ternyata isinya adalah sebuah Al Qur’an di bingkai kotak kayu berukir indah. Walaupun mengucap terima kasih tetapi hatinya sungguh kecewa. "Bukannya aku tidak menghargai hadiah dari ayah, tetapi alangkah senangnya bila isi kotak itu adalah uang untuk membeli buku-buku," ucapnya dalam hati sambil menaruh Al Qur’an kembali ke kotaknya.
Waktu berlalu dengan cepat, si anak diterima menjadi dosen di Universitas Mataram NTB. Si ayah pun sendiri dalam kesepian. Karena usia tua dan sakit-sakitan, tak lama si ayah meninggal dunia tanpa sempat meninggalkan pesan kepada putranya. Setelah masa berkabung selesai, saat sedang membereskan barang-barang, mata si anak terpaku melihat kotak kayu hadiah wisudanya yang tergeletak berdebu di pojok lemari. Dia teringat itu hadiah ayahnya saat wisuda yang diabaikannya. Perlahan dibersihkannya kotak penutup, dan untuk pertama kalinya Al Qur’an hadiah pemberian si ayah dibacanya.
Saat membaca, tiba-tiba sehelai kertas terjatuh dari selipan kitab suci. Alangkah terkejutnya dia. Ternyata isinya selembar surat bahwa ayah sedang membelikan Sapi yang dititip ke paman untuk dirawat dan hasilnya nanti untuk kami semua, yang itu harganya melebihi harga buku yang dulu sempat diminta pada ayahnya. Harga sapi itu adalah 10 juta rupiah, sedangkan dulu harga buku itu hanya 500 ribi rupaih.
Sambil berlinang airmata, dia pun tersadar. Terjawab sudah, kenapa ayahanda menabung dari gaji pensiunnya, karena ia berharap menebus keinginan anaknya yang tak sempat dikabulkannya. 20 tahun ayah menabung untuk membeli sapi dan harapannya sapi itu dijual untuk keperluar kamiyang jauh lebih bergarha dari padamembeli buku-buku, karena saat ini membeli buku sudah menjadi kebiasaan sang anak, dan ayahanda berharap bahwa sapi itu bisa untuk membantu ekonomi kakak-kakaknya. Selepas hal itu Segera ia pun bersimpuh dengan memanjatkan doa, "Ayah maafkan anakmu yang tidak menghargai hadiahmu …. Walau terlambat, hadiah Ayah telah kuterima…… Terima kasih Ayah.. Semoga Ayah berbahagia di sisiNYA, amin".
Hikmah :
Teman
Tidak jarang para orang tua memberi perhatian dengan alasan dan caranya masing-masing. Tetapi dalam kenyataan hidup, karena kemudaan usia anak dan emosi yang belum dewasa, seringkali terjadi kesalahfahaman pada anak dalam menerjemahkan perhatian orang tua.
Jangan cepat menghakimi sekiranya harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Sebaliknya tidak menjadikan kita manja hingga selalu menuntut permintaan.
Mari belajar menjadi anak yang pandai menghargai setiap perhatian orang tua.
Semoga bermanfaat, cerita terinpsirasi dari cerita Andre Wongso diceritakan kembali oleh Muazar Habibi sesuai dengan apa yang dialaminya.